DALAM
tulisan Bandung Mawardi, "Godaan Puisi Dalam Politik", dan Hikmat
Gumelar, "Boesa", yang dimuat pada lembaran Khazanah harian Pikiran
Rakyat edisi 23 Agustus dan 6 September 2008, tampak sekali kedua
penulis ini hendak mendiskusikan lebih jauh dengan pembaca: Apakah
sesungguhnya relasi yang konkret antara spiritualitas ide-ide puisi dan
subjektivitas politik? Apakah sesungguhnya realisasi makna yang kelak
ingin dicapai para politisi dari puisi? Dan, apakah sesungguhnya
afirmasi yang akan mengantarkan puisi dan politik berhadapan dengan
realitas publik?
Tentu saja, saya tidak ingin menjawab ketiga
pertanyaan tadi. Izinkanlah, saya mengulas beberapa bahasan yang
dikemukakan kedua penulis dengan argumen penuh mannerism yang menggebu
dan menyeru-nyeru publik untuk terlibat. Di sana-sini, tulisan keduanya
cukup provokatif. Mawardi memilih menjadi "pengagum" politisi yang
merekonstruksi teks sastra (puisi dan pantun) ke imajinasi bahasa
politik. Dan, Hikmat Gumelar membuat "oposisi" dengan menegasikannya
dalam perspektif kritikus seni. Maka, mari kita mulai polemik ini ...
Mawardi
dalam tulisannya, seolah sedang "menyampaikan" hasil kajian serta
penelitian terhadap pemakaian bahasa puisi -dan pantun- yang
diekspresikan para calon presiden dalam kemasan iklan televisi dan
panggung politik yang berfungsi sebatas "libido politik" dari hasrat
berkuasa. Esensi dan substansi di balik penggalan teks puisi yang
dikutip Sutrisno Bachir atau Rizal Mallarangeng, sama sekali tidak
tersentuh. Begitu pun, pantun Tifatul Sembiring yang lebih merupakan
rempah-rempah dan sejenis aji-no-moto berpolitik yang tampak kehilangan
"nyali" untuk mengeksplorasi serta mereproduksi bahasa dari dalam ranah
politik itu sendiri.
Politik tampak dipaksakan untuk mengadopsi
bahasa dari domain teks (karya) sastra yang ditafsirkan memiliki
integritas dalam menyatakan diri secara independen. Lebih meyakinkan
serta mendebarkan. Dalam perspektif inilah, politisi kemudian
mengeksploitasi teks karya sastra sebagai legitimasi untuk menghidupkan
kembali bahasa politik yang kini terlanjur dinilai verbal, banal, dan
bebal. Politisi sengaja memainkan imajinasi bahasa untuk mengabadikan
momen puitik dari hiruk-pikuk fragmen dan ritual politik yang ganjil.
Kita tahu, ganjil, karena politik telah membebatkan bahasa yang
dinyatakan secara terbuka kepada publik luas melalui spanduk, baliho,
poster, iklan, orasi, diskusi, wawancara, maupun kampanye-yang menyimpan
sejumlah muslihat.
Kekuatan (bahasa) politik yang dapat
diucapkan dengan penuh kejujuran dan keikhlasan, tanpa pretensi untuk
berindah-indah itu, pada akhirnya hanya memacu politisi untuk bersikap
genit dan gombal. Politik dan partai politik, tanpa disadari, telah
memasuki "perangkap" dalam permainan retorika yang tidak cukup mendidik
dirinya lebih mematangkan pemahamannya terhadap fenomena kehidupan
publik. Sehingga hampir gairah politisi dan partai politik kita, masih
belum beranjak dari pergumulan panjang citra berpikir lama yang
senantiasa memosisikan dirinya sebagai "panglima". Dan publik masih
diasumsikan kerumunan massa yang sangat mudah dikelabui puitika
kata-kata heroik, dibuai retorika hampa.
Hal itu pun terbaca
dalam paragraf awal tulisan Mawardi yang berusaha meyakinkan pembaca
bahwa, "kondisi politik Indonesia mulai masuk dalam dunia kata dan
imajinasi. Perdebatan dalam wacana pemimpin tua dan muda menjadi ramai
dengan sekian pernyataan politik dalam konstruksi bahasa imajinatif.
Puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan
dengan pertimbangan efek estetika dan sosial-politik."
Hemat
saya, Mawardi berlebihan dan hiperbolis. Bahkan untuk negara seperti
Amerika Serikat pun, kita tidak pernah mendengar partai politik dan para
politisi di sana telah meletakkan "... puisi menjadi pilihan untuk
merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan dengan pertimbangan efek
estetika dan sosial-politik". Mendiang John F. Kennedy-mantan Presiden
Amerika Serikat yang terbunuh itu-hanya mampu beretorika dengan kalimat
klise yang tak selesai ini: puisi ditengarai mampu membersihkan perilaku
(ber)politik yang kotor. Sutardji Calzoum Bachri benar, untuk
membersihkan perilaku politik yang kotor, maka politik jugalah
seharusnya yang membersihkan. Sama sekali, bukan puisi.
Bisa
dipahami, karena seperti dituliskan Goenawan Mohamad (2006) bahwa,
"...pada umumnya politik bukanlah itu semua. Politik lebih sering berupa
sebagian hidup sehari-hari yang remeh, mungkin norak. Atau politik
adalah sebuah proses tawar-menawar yang mengesalkan-sebuah proses yang
bisa digerakkan oleh manipulasi, tanpa rasa malu, bosan, ataupun geli."
Relasi
puisi, retorika, dan politik sebagaimana deskripsi Ignas Kleden (2001),
"...puisi diperlukan untuk memahami aksi, retorika untuk mengadakan
aksi... Puisi membukakan mata, retorika menghentakkan kaki... Politik
dapat dipahami sebagai usaha menghasilkan suatu keputusan bersama
kemudian mengusahakan terlaksananya keputusan tersebut dengan berbagai
kemungkinan... Karena, baik dalam mencapai suatu keputusan bersama
maupun dalam melaksanakan keputusan tersebut... dibutuhkan kemampuan
untuk mengatasi ‘perlawanan’ seseorang untuk menerima suatu pendirian
atau posisi tertentu yang ditawarkan."
Tetapi, saya tidak melihat
esensi puisi yang dikutip Bachir, Rizal, maupun pantun yang diciptakan
Tifatul dieksplorasi menjadi teks yang inspiratif. Melainkan lebih
merupakan bagian dari proposisi atau sekadar stigmasi dalam berpolitik.
Apa yang mereka imajinasikan dari adagium teks karya sastra, justru
telah menandai berlangsungnya antitesis dan perlawanan publik terhadap
ilusi "politik bahasa" yang memuakkan dari para politisi. Perlawanan
publik yang paling ekstrem, salah satunya ditegaskan dengan kenyataan
angka golput yang semakin bertambah dalam berbagai instrumen proses
demokratisasi di mana politik, partai politik, dan politisi, hendak
merebahkan diri ke pelukan publik yang histeria.
Puisi dalam
konteks Bachir dan Rizal atau pantun Tifatul, didistribusikan dalam
medan wacana politik yang mengeksploitasi gagasan (sosial) sastra ke
dalam praksis (rekayasa) politik. Puisi, kemudian sekadar alat
legitimasi bagi mereka yang memainkan politik sebagai basis individu
untuk menumbuhkan hasrat berkuasa. Diakui atau tidak, politik telah
menyeret puisi (dan pantun) ke dalam simbolisasi dari gemuruh pertikaian
berbagai kepentingan yang sangat personal. Dari situ juga,
spiritualitas puisi dan pantun dijustifikasi sebagai pembenar "hasrat
materialistik" yang memotivasi seseorang bertekad menjadi penguasa: teks
karya sastra itu, tidak lagi inovatif dan bersikap kritis.
Saya
kira, pernyataan yang pernah dilontarkan Kennedy sudah tidak dapat
dijadikan referensi. Bahasa dalam konteks representasi politik dan
puisi, siapapun tahu, merupakan dua kutub imajinasi bahasa yang saling
berseberangan. Karena sudah jelas, politik-di negeri kita-selama ini,
semakin kuat mengaktualisasikan hasrat verbal yang mendorong sikap
monolitik perseorangan maupun kelompok, seolah mainstream dan sentrum
dalam perubahan sosial masyarakat. Regimentasi Orde Lama maupun Orde
Baru yang memosisikan politik sebagai panglima, ternyata belum mengalami
perubahan yang berarti. Dengan menggunakan teks-teks sastra (puisi dan
pantun) yang dikukuhkan menjadi ambisi teks politik, karya sastra
berhenti sebatas propaganda, dan, bahasa politik tidak serta-merta
mengalami pencanggihan dalam menerobos imajinasinya sendiri yang bebal.
Oleh
karena itu, tulisan Mawardi dengan judul, "Godaan Puisi Dalam Politik"
sangat mengelirukan. Mungkin lebih tepat, "Godaan Politik Dalam Puisi".
Karena teks-teks puisi dan pantunlah yang hendak diasumsikan para
politisi itu, diarahkan menjadi inspiring. Sementara, hasrat politik
yang tersembunyi di sebalik teks dan konteks tersebut, tetaplah menandai
password politik yang membawa publik ke pusaran ingar-bingar
pertarungan di dalamnya. Teks-teks karya sastra artinya, diletakkan
menjadi stigma yang menyembunyikan bahasa politik yang tengah memasuki
titik pandir.
Bahasa politik yang ditulis dan dinyatakan dalam
teks-teks pidato, pernyataan, selebaran, spanduk, siaran berita, atau
diskusi-diskusi politik telah melampaui titik jenuh yang sangat
mengkhawatirkan. Terlebih, jika dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa
sosial yang kian mencekam. Diakui atau tidak, politik di tengah euforia
demokratisasi pascaruntuhnya rezim Orde Baru, bagaimanapun telah
menyebabkan "ekspresi politik" berlangsung sedemikian rupa.
Berpolitik
dengan paras wajah innocent seorang teknokrat yang berikrar
menggairahkan dunia pertanian; berpolitik melalui style seorang
spiritual yang akan mewakafkan dirinya untuk kehidupan; berpolitik
secara oposisi sebagai seorang wali yang bertolak pada wahyu kebenaran;
berpolitik dengan menekankan dirinya hipotesis dari regenerasi pemimpin
tua; berpolitik yang berdiri mengandaikan dirinya martir untuk rakyat
yang teraniaya; berpolitik dalam paradigma seorang saudagar yang
mencerminkan pribadi dermawan kepada wong cilik dan penuh perhatian
terhadap mereka yang berprestasi; atau, berpolitik dengan psikologi
seorang yang senantiasa introspeksi dan bersikap hati-hati.
Kita
tidak perlu sakit hati dengan sikap politisi. Juga, tidak perlu serius
seperti Hikmat Gumelar menanggapinya. Penulis dan Koordinator Umum
Institut Nalar Jatinangor ini, dalam paragraf ketiga dari akhir
tulisannya menyatakan bahwa, "... kata-kata yang dengan berdarah-darah
diangkat dan diperkaya oleh Chairil dan Frost itu begitu saja dibetot
lagi oleh Bachir dan Rizal. Dibikin jadi kembali miskin makna, miskin
kemungkinan-kemungkinan. Dan lagi, alat itu adalah alat berpolitik
dengan paradigma politik yang koruptif yang telah dan tengah membuat
langit semakin mendung." Kembali hemat saya, Hikmat menafsirkan
penggalan teks puisi Chairil Anwar yang dikutip Bachir atau puisi Robert
Frost yang dipresentasikan Rizal menjadi heroisme teks bahasa iklan,
demikian seterusnya, teks pantun ciptaan Tifatul-menurut Hikmat, jenis
pantun yang juga dibuat ribuan anak-anak SD-itu, terlampau serius dan
bertumpu pada paradigma kritik seni.
Saya sendiri khawatir apa
yang diikhtiarkan Bachir, Rizal, atau Tifatul, justru sedang mambangun
kemungkinan-kemungkinan sederhana. Bachir secara lugu dan bersahaja,
mengutip penggalan teks puisi Chairil: sekali berarti setelah itu mati,
hendak menyatakan kepada publik: dia, bercita-cita jadi presiden hanya
sekali saja, setelah itu (lazimnya manusia) menunggu mati. Begitu juga
Rizal yang mengutip teks puisi Frost, if there is a will there is a way
(jika ada kemauan, selalu ada jalan terbuka). Mungkin hendak
dinisbahkan, jalan menjadi presiden itu, akan dia buka lewat pintu
kantor Freedom Institute. Begitu juga bait akhir pantun Tifatul, Buat
apa pergi ke seberang/Airnya susu banyak berbatu/ Buat apa melarang
orang/ Dah terbayang kursi RI satu. Konteks politiknya bisa ditafsirkan
seperti ini: dia, tidak akan pulang ke seberang (Medan) lagi dan akan
tetap tinggal di Jakarta. Karena, sedang membayangkan diri duduk jadi
Presiden RI.
Maka, jika saya menjadi Bachir, Rizal, atau Tifatul,
tidak perlu bersusah-payah mengutip imajinasi teks puisi dan pantun
untuk mengekspresikan puitika, politika, maupun retorika dalam
berpolitik. Jika boleh, saya mengusulkan kepada ketiga politisi calon
presiden itu, belajar olah-vokal, berlatih menyanyi, dan merilis album
seperti dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono. Setidaknya, agar lebih
menyentuh arus bawah (grassroots) dan publik luas. Teks kutipan iklan
politik yang semula dipetik dari puisi Chairil Anwar dan Robert Frost,
atau daripada berpantun-ria dalam arena kampanye seperti Tifatul,
diganti dengan penggalan lagu "Reformasi" Rhoma Irama yang lebih
bergelora dalam hentakan musik dangdut dan semangat keindonesiaan: Deru
perubahan menggema-menggelora/Sebagai tuntutan dan juga kebutuhan/Itu
perubahan dari kesapakatan/Di segala bidang dan sendi kehidupan/Marilah
kita benahi, kemampuan ibu pertiwi/Dari segala kotoran, sampah
pembangunan/Marilah kita mulai,membersihkan jiwa ini/Dari
ketidak-jujuran yeah, dari kemunafikan…
RETORIKA
SEMUA MATERI DALAM BLOG INI DI OLAH DARI BERBAGAI SUMBER DAN DATA KOLEKSI PRIBADI YANG DISAJIKAN UNTUK MEMBERIKAN IFORMASI
Sunday, March 9, 2014
Teori Retorika Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato, filsuf
terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani dikenal Kaum Sophie
yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang awam,
pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku
Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin
teori, dan terkesan dangkal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu
sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya adalah orator itu sendiri
bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan omongan
yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991:
35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama
dalam retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika adalah
seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu
kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu
karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang
psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa
retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki
efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat
oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai
seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai
komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara
tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah komunikasi
yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking,
yaitu yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang
untuk memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu
sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi
dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking,
yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut
serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk
dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking,
di mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau
menyalahkan pihak lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin
yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic
berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan dengan
probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk
mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin
sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok
atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos).
Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu
sendiri, pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator
terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan
pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan
dari orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya
menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama dengan
manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu
menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan
dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu,
sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang
digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan
memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya khalayak digiring untuk
menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang dipikirkan oleh
orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika khalayak
tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup
efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme
digunakan sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh
dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh dari
pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof)
menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator tersebut.
Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata,
melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki
kredibilitas. Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada
seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi.
Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau
kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam
berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya.
Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut
‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki kesamaan
pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang
cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara
berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara
berpikirnya.
Character lebih kepada
citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang
orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun
kata-kata yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih
mudah untuk percaya. Begitu pula sebaliknya, jika orator yang
bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka sebaik apapun
kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat
baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada
khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya,
menunjukkan karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu
‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat baik ini biasanya dapat dirasakan
oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof).
Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan suasana emosional yang
ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu
mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan
khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu
sendiri. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang
mendalam terhadap berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika
yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa
sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang retorika itu rumit, mereka
kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat konsep
tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat
hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik,
orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, kemampuan
penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk pembicaraan.
Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan
sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu
dibentuk menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak
memori yang dimiliki maka akan semakin mudah untuk menciptakan
argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya
penyusunan atau pentahapan argumentasi itu sendiri. Menurutnya, pada
awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik perhatian
dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian
memperjelas maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri.
Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan
bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita
katakan, dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif
tentang diri kita dan ide-ide yang telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara
adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau
gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu
sendiri. Ada orator yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang
unik, menarik, dan bukan tentang kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait
erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak.
Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah
orasi. Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana
khalayak menilai cara bicara atau cara orasi orang tersebut menarik atau
tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu menjadi hal yang
berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar di sini adalah audiens
atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap akan
selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak
sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor
yang penting yang terlupa oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal
faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam
praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang
banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan
praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam
penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua
bahwa retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni,
sehingga tidak akan mampu untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan
apapun. Seringnya, semuanya berpulang kepada manusia itu sendiri.
Daftar Pustaka:
Griffin, Emory A., A First Look at Communication Theory, 5th edition, New York: McGraw-Hill, 2003, p.303—311
Wednesday, March 5, 2014
MAKALAH RETORIKA
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Retorika
merupakan sebuah kajian menarik yang perlu mendapat perhatiam oleh
Mahasiswa yang tengah menimba ilmu engetahuan di bidang ilmu sosial dan
ilmu politik,maka dari itu pembahasan tentang Retorika memiliki ,daya
tarik tersendiri bagi penulis untuk coba mengkaji topik mengenai
Retorika
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini ditujukan untuk memperluas cakrawala berpikir penulis dan
juga kepada khalayak umumnya yang akan menambah ilmu pengetahuan penulis
dan pembaca mengenai hal hal yang dianggap perlu di ketahui mengenai
Retorika dalam hal ini
1.3 Rumusan pembahasan
a.Apa itu Retorika?
bBagaimana Perkembangan retorika?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 mengenal Retorika
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ,
rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara
persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara,
emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam
sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato
menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi
politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk
mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader
dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai,
keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke
(1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau
tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh
sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada
perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan
di atas) dan praktik kontemporer dari retorika yang termasuk analisa
atas teks tertulis dan visual.
Dalam
buku Theories of Human Communication karangan Little John, dikatakan
bahwa studi retorika sesungguhnya adalah bagian dari disiplin ilmu
komunikasi. Mengapa?
karena di dalam retorika terdapat penggunaan simbol-simbol yang
dilakukan oleh manusia. Karena itu Retorika berhubungan erat dengan
komunikasi Persuasi. Sehingga dikatakan retorika adalah suatu seni dari
mengkonstruksikan argumen dan pembuatan pidato. Little John mengatakan re torika adalah ” adjusting ideas to people and people to ideas” (Little John, 2004,p.50)
Selanjutnya
dikatakan bahwa Retorika adalah seni untuk berbicara baik, yang
dipergunakan dalam pros s komunikasi antarmanusia (Hendrikus, 1991,p.14)
Sedangkan oleh sejarawan dan negarawan George Kennedy mendefinisikan re
torika sebagai …” the energy inherent in emotion and thought, transmitted through a system of signs, including language to other to influence their decisions or actions” (dikutip
dalam Puspa, 2005:p.10) atau kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
menjadi Retorika adalah…”suatu energi yang inheren dengan emosi dan
pemikiran, yang dipancarkan melalui sebuah sistem dari tanda-tanda,
termasuk didalamnya bahsa yang ditujukan pada orang lain untuk
mempengaruhi pendapat mereka atau aksi mereka”
2.3 Perkembangan dan Prinsip dasar retorika
Perkembangan
Retorika
mulai dikenal pada tahun 465 SM, ketika Corax menulis makalah bejudul
Techne Lagon (Seni kata-kata). Pada waktu itu seni berbicara atau llmu
berbicara hanya digunakan untuk membela diri dan mempengaruhi orang
lain. Membela diri di pengadilan ketika orang lain mengambil tanah atau
mengakui tanahnya karena waktu itu belum ada sertifikat tanah. Membela
diri ketika seseorang, katakanlah orang kaya raya dituduh mengorbankan
kehormatannya dengan hanya mencari setandan pisang di kebun dan
sebagainya.
Singkat
retorika atau ilmu komunikasi pada waktu itu hanya digunakan untuk
membela diri yang berhubungan dengan kepentingan sesaat dan praktis.
Sementara untuk mempengaruhi orang lain, menurut Aristoteles ada 3 cara yaitu :
- Harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa kita memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya dan status yang terhormat yang disebut “ethos”
- Harus dapat menyentuh hati khalayak, perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang yang disebut “phatos”
- Meyakinkan khalayak dengan bukti yang kelihatan, yang disebur “logos”
- Dari sejarah singkat perkembangan retorika atau ilmu komunikasi klasik yang patut kita catat yakni mengenai tahap penyusunan pidato karya Aristoteles yang sampai sekarang masih terus dipakai, adalah penentuan tema, penyusunan, gaya, memori dan penyampaian.
Prinsip-Prinsip Dasar Retorika
Retorika atau ilmu komunikasi adalah cra pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan pada suatu pengetahuan atau metode y ang teratur atau baik. Berpidato, ceramah, khutbah juga termasuk kajian retorika. Cara-cara mempergunakan bahasa dalam bentuk retorika seperti pidato tidak hanya mencakup aspek-aspek kebahasaan saja tetapi juga mencakup aspek-aspek lain yang berupa penyusunan masalah yang digarap dalam suatu susunan yang teratur dan logis adanya fakta-fakta yang meyakinkan mengenai kebenaran masalah itu untuk menunjang pendirian pembicara.
Oleh
karena itu suatu bentuk komunikasi yang ingin disampaikan secara
efektif dan efisien akan lebih ditekankan pada kemampuan berbahasa
secara lisan. Suatu komunikasi akan tetap bertitik tolak dari beberapa
macam prinsip.
Prinsip-prinsip dasar itu adalah sebagai berikut :
- Penguasaan secara aktif sejumlah besar kosakata bahasa yang dikuasainya. Semakin besar jumlah kosa kata yang dikuasai secara aktif semakin besar kemampuan memilih kata-kata yang tepat dan sesuai untuk menyampaikan pikiran
- Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan yang memungkinkan pembicara menggunakan bermacam-macam bentuk kata dengan nuansa dan konotasi yang berbeda-beda.
- Mengenal dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa dan mampu menciptakan gaya yang hidup dan baru untuk lebih menarik perhtian pendengar dan lebih memudahkan penyampaian pikiran pembicara.
- Memiliki kemampuan penalaran yang baik sehingga pikiran pembicara dapat disajikan dalam suatu urutan yang teratur dan logis.
Urgensi Ilmu Komunikasi atau Retorika Bagi Calon Pemimpin
Setiap calon selain ia harus berwawasan luas juga dituntut harus mempunyai keterampilan berkomunikasi atau berbicara. Keterampilan tersebut dapat diperoleh melalui latihan yang sistematis, terarah dan berkesinambungan. Tanpa latihan, kepasihan berbicara atau pidato tidak dapat tercapai. Disamping itu, calon pemimpin juga harus mengetahui ciri-ciri pembicara yang ideal.Pengetahuan tentang ciri-ciri pembicara yang baik sangat bermangaat bagi mereka yang sudah tergolong pembicara yang kurang baik dan bagi pembicara dalam tarap belajar. Bagi golongan pertama, pengetahuan tersebut dapat digunakan sebagai landasan mempertahankan, menyempurnakan atau mengembangkan keterampilan berbicara atau pidato yang sudah dimilikinya. Bagi golongan kedua yakni calon pemimpin. Hal itu sangat baik dipahami dan dipalikasikan sehingga dapat menghilangkan kebiasaan buruk yang selama ini mungkin dilakukan secara tidak sadar.
Setiap calon selain ia harus berwawasan luas juga dituntut harus mempunyai keterampilan berkomunikasi atau berbicara. Keterampilan tersebut dapat diperoleh melalui latihan yang sistematis, terarah dan berkesinambungan. Tanpa latihan, kepasihan berbicara atau pidato tidak dapat tercapai. Disamping itu, calon pemimpin juga harus mengetahui ciri-ciri pembicara yang ideal.Pengetahuan tentang ciri-ciri pembicara yang baik sangat bermangaat bagi mereka yang sudah tergolong pembicara yang kurang baik dan bagi pembicara dalam tarap belajar. Bagi golongan pertama, pengetahuan tersebut dapat digunakan sebagai landasan mempertahankan, menyempurnakan atau mengembangkan keterampilan berbicara atau pidato yang sudah dimilikinya. Bagi golongan kedua yakni calon pemimpin. Hal itu sangat baik dipahami dan dipalikasikan sehingga dapat menghilangkan kebiasaan buruk yang selama ini mungkin dilakukan secara tidak sadar.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ,
rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara
persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara,
emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam
sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato
menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi
politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk
mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader
dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai,
keprcayaan dan pengharapan mereka.
B.SARAN
Untuk penyempurnaan makalah ini kami sangat berharap diberikan masukan berupa kritik dan saran di dalamnya
Daftar pustaka
Budiarjo,miriam.dasar dasar ilmu politik.PT.GRAMEDIA PUSTAKA
UTAMA.JAKARTA:2008
Hendrikus,Deiwwor.Retorika.PT KANISIUS PUBLISHER.Yogyakarta:1991
http://protechhakaisha.blogspot.com/2011/12/sejarah-retorika.html,Di unduh pada 8 Januari 2012
Medhurst dan Benson .Rhetorical Analysis sebagai salah satu bentuk Analisis Teks Media(1984)
Pengertian, Sejarah dan Latar Belakang Retorika
BAB I
A. Defenisi RetorikaBerbicara yang akan dapat meningkatkan kualitas eksistensi (keberadaan) di tengah-tengah orang lain, bukanlah sekadar berbicara, tetapi berbicara yang menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan kata lain, manusia mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika. Retorika adalah seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukan oleh seseorang kepada sejumlah orang secara langsung bertatap muka. Oleh karena itu, istilah retorika seringkali disamakan dengan istilah pidato. Agar lebih jelas maka dalam ulasan berikut ini akan didalami secara bersama beberapa pemahaman dasar tentang retorika.
Dalam Bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) retorika adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo). Plato secara umum memberikan defenisi terhadap retorika sebagai suatu seni manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai substansi dengan penggunaan media oral atau tertulis.
Retorika memberikan suatu kasus lewat bertutur (menurut kaum sofis yang terdiri dari Gorgias, Lysias, Phidias, Protagoras dan Socrates akhir abad ke 5 SM), yang mengajarkan orang tentang keterampilan berbicara dan menemukan sarana persuasif yang objectif dari suatu kasus. Studi yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan saran dan pengobatannya. Retorika juga mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penetaan dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerjasama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam ajaran retorika Aristoteles, terdapat tiga teknis alat persuasi (mempengaruhi) politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada wacana memuji dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
B. Tujuan Retorika
Tujuan retorika adalah persuasi, yang dimaksudkan dalam persuasi dalam hubungan ini adalah yakinnya pendengar akan kebenaran gagasan hal yang dibicarakan pembicara. Artinya bahwa tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat lewat kegiatan bertutur.
C. Fungsi Retorika
Membimbing penutur mengambil keputusan yang tepat.
Membimbing penutur secara lebih baik memahami masalah kejiwaan manusia pada umumnya dan kejiwaan penanggap tutur yang akan dan sedang dihadapi.
Membimbing penutur menemukan ulasan yang baik.
Membimbing penutur mempertahankan diri serta mempertahankan kebenaran dengan alasan yang masuk akal.
D. Metode Retorika
D.1. Exordium (pendahuluan)
Fungsinya pengantar kearah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan membangkitkan perhatian (attention arousing).
Berbagai cara dapat ditampilakan untuk memikat perhatian hadirin.
- Mengemukakan kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dll)
- Mengajukan pertanyaan
- Menyajikan ilustrasi yang spesifik
- Memberikan fakta yang mengejutkan
- Menyajikan hal yang bersifat manusia
- Mengetengahkan pengalaman yang ganjil
Beberapa hal yang perlu dihindari dalam retorika, antara lain:
- Permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman dll.
- Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan.
D.2. Protesis (latar belakang)
Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara factual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan pendengar.
D.3. Argumentasi (isi)
Memberikan ulasan-ulasan tentang topic yang akan disajikan secara teoritis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
D.4 Conclusio (kesimpulan)
Suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran orator atau pembawa naskah.
Yang perlu dihindari dalam pembuatan kesimpulan adalah:
- Mengemukakan fakta baru
- Mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional
Dua persyaratan mutlak bagi orang yang akan muncul sebagai orator:
- Source credibility atau sumber yang terpercaya (ahli dibidangnya)
- Source actractivinees atau daya tarik sumber artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai orator.
D.5. Etika Retorika
- Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis social.
- Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
- Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku dimasyarakat.
- Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
- Memiliki kekuatan dalil atau nash
Objek studi retorika adalah kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato (retorika) disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, mengatakan bahwa”penting sekali diperhatikan adalah catatan peristiwa yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh para orator hebat.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian orasi dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan”.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya, retorika memang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen terbang”.
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati “adu pidato” seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke. Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka. Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja.
Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric). Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di dalam dan “thymos” pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, “Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita “. Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan. Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang film.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakangerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
E.1. RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi”. Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
“Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan – yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana….”
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
E.2. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan – yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
E.3. RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam – yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas – atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis – aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato – pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga – disebut gerakan elokusionis – justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian – dan kesetiaan – yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-proposisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Penutup
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. Hurst menyimpulkan: Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk kepribadian. Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas
psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab
perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia:
pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik.
Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk
memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena
memiliki fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah,
membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau
mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, mendefinisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-proposisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar
utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert
harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui
khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan
khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang
dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.
Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen synthesa, yang
memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur
dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang
membentuk kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
Rujukan Penuh : Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosda Karya
Subscribe to:
Posts (Atom)