Terkadang kita sering tidak sadar seberapa pentinghkah berbicara dalam kehidupan kita. Banyak orang berbicara semaunya, seenaknya tanpa memikirkan apa isi dari pembicaraan mereka tersebut. Sebenarnya berbicara mempunyai artian mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya memberikan informasi atau memberi motivasi). Tapi sering kali kita mengalami kesulitan dalam mengungkapakan maksud dan isi pikiran kita kepada orang lain. Bahkan sering pula maksud yang kita sampaikan berbeda dengan yang ditangkap oleh pendengar.
Oleh karena itu berbicara sangatlah penting karena yang membedakan manusia dari hewan maupun makhluk lainnya adalah kesanggupan berbicara. Manusia adalah makhluk yang sanggup berkomunikasi lewat bahasa dan berbicara. Tetapi yang lebih mencirikan hakikat manusia sebagai manusia penuh adalah kepandaian dan keterampilan dalam berbicara. Pengetahuan bahasa saja belum cukup! Kebesaran dan kehebatan seseorang sebagai manusia juga ditentukan oleh kepandaiannya dalam berbahasa, oleh keterampilannya dalam mengungkapkan pikiran secara tepat dan meyakinkan. Seni keterampilan berbicara sering disebut dengan Retorika.
Quintilianus, seorang bapak ilmu retorika berkebangsaan Romawi mengatakan, “Hanya orang yang pandai bicara adalah sungguh-sungguh manusia.” Di dalam dunia musik ada lelucon yang berbunyi, “Bermain piano itu tidak sulit! Orang hanya menempatkan jari yang tepat, pada saat yang tepat, di atas tangga nada yang tepat.”
Lelucon dari dunia musik diatas juga dapat dikenakan ke dalam ilmu retorika : ”Berbicara itu sama sekali tidak sulit! Orang hanya harus mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang tepat, kepada pendengar yang tepat.”
Memang untuk terampil dalam berbicara tidaklah semudah itu.Untuk menjadi seorang yang pandai bicara, dibutuhkan latihan yang sistematis dan tekun. Sejarah sudah membuktikannya! Orang-orang kenamaan seperti : Demosthenes, Cicero, Napoleon Bonaparte, winston Churchill, Adolf Hitler, J.F Kennedy, Marthin Luther King adalah orang-orang yang menjadi retor terkenal lewat latihan tang teratur, sistematis dan tekun.
Lalu mengapa kita perlu mempelajari retorika ?
Sering orang mengatakan, ”Dia tahu banyak, hanya tidak dapat mengungkapkan dengan baik. Dia tidak dapat mengungkapkan pikirannya secara meyakinkan.” Sangatlah menyedihkan, apabila orang memiliki pengetahuan yang berguna, tetapi tidak dapat mengkomunikasikannya secara mengesankan dan meyakinkan kepada orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu contoh mengapa retorika itu perlu.
Jadi apakah sebenarnya retorika itu ??
Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu redden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Sekarang ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik , yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia.
Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemapuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan berbicara.
Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Itu berarti kita harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda kepintaran; dan efektif karena apa gunanya kalau berbicara tidak membawa efek?
Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, ”Orang yang menembak banyak belum tentu seorang penembak yang baik, dan Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang pandai bicara.”
Alasan untuk mempelajari retorika:
Quintilianus mengatakan : ”Tidak ada anugrah yang lebih indah, yang diberikan oleh para dewa, daripada keluhuran berbicara.”
St. Agustinus, yang juga seorang retor, mengatakan : ”Kepandaian berbicara adalah seni yang mencakup segala-galanya.”
Sebuah pepatah tua mengatakan, ”Berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal anda.”
Martin Luther berpendapat, ”Siapa yang pandai berbicara adalah seorang manusia; sebab berbicara adalah kebijaksanaan; dan kebijaksanaan adalah berbicara.”
Di atas selembar Papirus yang ditemukan di dalam sebuah makam tua di Mesir tertulis, ”Binalah dirimu menjadi seorang ahli pidato, sebab dengan tiu engkau akan menang.”
Lalu mengapa kita perlu belajar retorika? Mengapa kita mau menguasai ilmu pandai bicara?
Di dalam masyarakat umumnya dicari para pemimpin atau orang-orang berpengaruh, yang memiliki kepandaian di dalam hal berbicara. Juga di bidang-bidang lain seperti perindustrian, perekonomian dan bidang sosial, kepandaian berbicara atau keterampilan mempergunakan bahasa secara efektif sangat diandalkan.
Menguasai kesanggupan berbahasa dan keterampilan berbicara menjadi alasan utama keberhasilan orang-orang terkenal di dalam Sejarah Dunia seperti : Demosthenes, Socrates, J. Caesar, St. Agustinus, St. Ambrosius, Martin Luther, Martin Luther King, J.F Kennedy, Soekarno dan lain-lain.
Dalam Sejarah Dunia justru kepandaian berbicara atau berpidato merupakan instrumen utama untuk mempengaruhi massa. Bahasa dipergunakan untuk meyakinkan orang lain. Ketidakmampuan dalam mempergunakan bahasa,membuat ketidakjelasan dalam mengungkapkan masalah atau pikiran dapat membawa dampak negatif dalam hidup dan karya seorang pemimpin. Oleh karena itu, pengetahuan tentang retorika dan ilmu komunikasi yang memadai akan membawa keuntungan bagi pribadi bersangkuatan dalam beberapa bidang tertentu.
Banyak pria dan wanita dalam Sejarah memperoleh suskes besar dalam hidup dan kariernya sebagai pemimpin, berkat penguasaan ilmu retorika. Sebab penguasaan teknik berbicara akan mempertinggi kepercayaan terhadap diri dan memberi rasa pasti kepada orang yang bersangkutan. Bagi para pemimpin, retorika adalah alat penting untuk mempengaruhi dan menguasai manusia. Bagi para penjual, kepandaian berbicara merupakan sarana penting untuk menjual-belikan barang dagangannya.
Barangsiapa yang menguasai ilmu retorika dan mempergunakannya secara wajar akan mendapat sukses dalam hidup dan karyanya !
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog sebelum The Rhetoric dengan judul 'Grullos' atau Plato menulis dalam Gorgias, secara umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Dalam doktrin retorika Aristoteles [1] terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Aristoteles
adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani
dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada
orang-orang awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak
menyindir perilaku Kaum Sophie ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan
itu miskin teori, dan terkesan dangkal.
Aristoteles
berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya
adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya
menyebarkan omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by
using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest
harm” (1991: 35). Aristoteles masih percaya bahwa moralitas adalah yang
paling utama dalam retorika. Akan tetapi dia juga menyatakan bahwa retorika
adalah seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi dua unsur, yaitu
kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata (eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar
Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi khalayak yang
sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah ilmu,
dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta
audiensnya. Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang
menggunakan pengetahuannya sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni
berorasi.
Aristoteles
melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak
menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa
retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles
kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi
retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang
dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan
tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika
seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam persidangan tersebut,
maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua
adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator
atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam
kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial
speaking, di mana yang dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau
menyalahkan pihak lain guna mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang
masuk kategori ini semacam tabligh akbar atau sejenisnya.
Karena
muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi
tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan
retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada
banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka
retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya. Dialectic
menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal
saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan
dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk
mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya
terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut
Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek
pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos).
Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri,
pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui
pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat
dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan
kepada khalayaknya.
Aristoteles
mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme
dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme
yang belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor
: Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor
: Saya adalah manusia
Konklusi :
Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme,
biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat yang sama
dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu
menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar
khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka semacam
diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang digunakan dalam silogisme yang
dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi pada dasarnya
khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa yang
dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika
khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa
cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example
atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau
kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan
detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian
etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas
dari orator tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata
yang baik semata, melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki
kredibilitas. Karena seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada
seseorang, bahkan sebelum orang tersebut berpidato atau berorasi. Sebelum
kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric,
Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu intelligence,
character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada
persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam berbagi nilai atau kepercayaan
antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah khalayak seringkali menilai
bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka sepakat atau memiliki
kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut. Orator yang
cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara berpikir
khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai
orang yang baik dan orang yang jujur. Jika seorang orator mampu memiliki citra
sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata yang disampaikan dalam
orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya. Begitu pula
sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka
sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian
positif yang coba ditularkan oleh orator kepada khalayaknya. Seorang orator
mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan karakter
kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya.
Niat baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian
emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu
menyesuaikan suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator
yang cerdas mampu mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang
diinginkan khalayak, akan tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator
itu sendiri. Dengan mengetahui karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam
terhadap berbagai macam karakter emosi, diharapkan retorika yang dilakukan
dapat berjalan efektif.
Walaupun
banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang
retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam
empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik.
Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention),
menyusun bahan-bahan atau materi argumentasi (arrangement), pemilihan
bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya (tecniques of
delivery).
Untuk
menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan
yang luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk
pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data,
dan sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk
menjadi argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki
maka akan semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles
mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu
sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk
menarik perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas
maksud atau tujuan dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir
adalah konklusi, yang sebaiknya adalah mengupayakan bagaimana khalayak akan
selalu mengingat apa-apa yang telah kita katakan, dan kita meninggalkan
khalayak dengan citra yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang telah
kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang
bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara atau gaya bicara tertentu.
Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator yang
bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang
kata-kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara
penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada khalayak. Cara penyampaian yang
menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi. Karena seringkali kefektifan
orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau cara orasi
orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu
menjadi hal yang berikutnya.
Para
pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan
terbesar di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator
menurut Aristoteles dianggap akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang
dimaksudkannya kepada khalayak sejauh mereka mengikuti anjuran-anjuran
Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang terlupa oleh Aristoteles,
yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak
dinilai memadai jika dilihat sebagai landasan dalam studi dan praktek retorika.
Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai macam penyesuaian dan semacamnya.
Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa retorika atau komunikasi
secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk
terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya berpulang
kepada manusia itu sendiri.
No comments:
Post a Comment