Wednesday, March 5, 2014

Retorika Seni Berbicara

Berbicara merupakan alat komunikasi paling efektif dan efesien. Persoalan berbicara tak dapat dilepaskan sejak sejarah manusia mulai diperkenalkankan. Bahkan Allah SWT memiliki sifat kalam artinya Maha Berfirman. Itulah sebabnya Nabi Musa ketika lidahnya kurang begitu fasih berbicara, maka Allah membimbing dia dengan seubua doa : rabbis rahli shadri wayassirli amri wahlul uqdatam millisani yafqahu qauli (QS. Thaha (20) :
Imam al-Akhdlariy menyebutkan bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia itu disebut hayawanun nathiqun artinya “binatang yang pandai berbicara”[1] meskipun secara etika sepertinya terlalu berana beliau menyebut manusia dengan binatang. Demikian pula orang-orang yang mampu mengubah sejarah peradaban dunia, mereka itu pada umumnya sangat piawai dalam mengolah kata dan bermain kalimat. Mulai dari para filusuf Yunani seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato. Sampai dengan para politikus, dan negarawan seperti Hitler, Musolini, Thomas Aquinas, Montesqueu, hingga negarawan kita yang cukup mahir dalam berorator seperti Bung Karno dan Bung Tomo.
Kita juga tentu sering tertegun menyimak pembicaraan para da’i kondang, seperti KH. Zaenuddin MZ, Aa Gym, Ust. Jepri Al-Bukhari, dan Ust. Arifin Ilham. Mereka memiliki karakter gaya bicara yang berbeda dan pendengar akan terlena dalam buaian kata-kata indah mereka. Kesimpulannnya adalah bahwa berbicara yang baik dan bermakna akan mengandung kekekuatan spiritual tersendiri.
Berbahasa Indonesia yang baik merupakan bagian identitas bangsa. Seyogyanya berbicara yang baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baku harus dapat disosialisasikan oleh para publik figur, selebritis, di negeri ini. Pada era orde baru tampaknya justru yang merusak kaidah bahasa Indonesia adalah orang nomor satu di Indonesia. Indikasi “pengrusakkan” kaidah bahasa Indonesia era sekarang kiranya didominasi oleh bahasa iklan di media masa. Dalam hal ini perlu diadakan aturan main dalam memproduksi bahasa sebuah iklan, agar tidak merusak tatanan kaidah yang sudah baku.
Penggunaan bahasa dan isitilah asing yang diadopsikan ke dalam bahasa Indonesia seharusnya dibatasi. Kalau tidak bisa disederhanakan oleh si pembicara sebaiknya tidak perlu diucapkan. Akan tetapi justru gejala ini dibuat sengaja oleh orang-orang yang masih setengah-setengah mengenyam pendidikan tinggi. Atau demi gengsi-gengsian mereka berbicara yang sok ilmiah. Ironisnya, justru mereka sendiri tidak mengerti apa sebenarnya isi pembicaraannya.
Sya’ir-sya’ir lagu, bahasa iklan, bahasa dialog sinetron/film (dengan tanpa mengurangi kebebasan berekspresi) sebaiknya selalu memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Para calon pejabat dan pemimpin negara sebaiknya ditatar dulu bagaimana berbahasa Indonesia yang baik. Sehingga tidak terjadi pemubadziran anggaran negara untuk mengadakan kongres bahasa Indonesia. Di satu sisi keputusan kongres di keluarkan, di sisi lain pola berbicara para pejabat masih tetap pada pola lama.
Sepanjang sejarah, kongres bahasa Indonesia itu sudah sering dilaksanakan. Sehingga yang disebut dengan EYD entah akan berapa kali lagi akan disempurnakan. Barangkali akan lebih monumental jika gramatikal bahasa Indonesia itu secara resmi diundangkan. Dengan segala implikasinya, layaknya sebuah undang-undang (lengkap dengan sanksi hukum, jika ada penyalahgunaan istilah atau lainnya). Berbeda sekali dengan gramatikal bahasa Inggris, di mana sejak abad IV sampai sekarang tetap sama. Demikian pula dengan gramatikal bahasa Arab, sejak al-Qur’an diturunkan XV abad yang silam, hingga sekarang masih tetap utuh.
Lalu, ada apa dengan tata bahasa Indonesia ? Mengapa selalu berubah-ubah ?. Hal ini didak lain disebabkan karena kuatnya pengaruh suhu politik. Contohnya, setiap kali ganti mentri/ kabinet maka setiap kali ganti istilah. SMP jadi SLTP kembali lagi ke SMP, SMA jadi SMU kembali lagi ke SMA. Gelar sarjana untuk satu disiplin ilmu yang sama sampai sangat beragam. Akhirnya masyarakat awam yang dibikin bingung.

No comments:

Post a Comment