Berbicara merupakan alat komunikasi paling
efektif dan efesien. Persoalan berbicara tak dapat dilepaskan sejak sejarah
manusia mulai diperkenalkankan. Bahkan Allah SWT memiliki sifat kalam
artinya Maha Berfirman. Itulah sebabnya Nabi Musa ketika lidahnya kurang begitu
fasih berbicara, maka Allah membimbing dia dengan seubua doa : rabbis rahli
shadri wayassirli amri wahlul uqdatam millisani yafqahu qauli (QS. Thaha
(20) :
Imam al-Akhdlariy menyebutkan bahwa yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia itu disebut hayawanun
nathiqun artinya “binatang yang pandai berbicara”[1]
meskipun secara etika sepertinya terlalu berana beliau menyebut manusia dengan
binatang. Demikian pula orang-orang yang mampu mengubah sejarah peradaban
dunia, mereka itu pada umumnya sangat piawai dalam mengolah kata dan bermain
kalimat. Mulai dari para filusuf Yunani seperti Socrates, Aristoteles, dan
Plato. Sampai dengan para politikus, dan negarawan seperti Hitler, Musolini,
Thomas Aquinas, Montesqueu, hingga negarawan kita yang cukup mahir dalam
berorator seperti Bung Karno dan Bung Tomo.
Kita juga tentu sering tertegun menyimak
pembicaraan para da’i kondang, seperti KH. Zaenuddin MZ, Aa Gym, Ust. Jepri
Al-Bukhari, dan Ust. Arifin Ilham. Mereka memiliki karakter gaya bicara yang
berbeda dan pendengar akan terlena dalam buaian kata-kata indah mereka.
Kesimpulannnya adalah bahwa berbicara yang baik dan bermakna akan mengandung
kekekuatan spiritual tersendiri.
Berbahasa Indonesia yang baik merupakan bagian
identitas bangsa. Seyogyanya berbicara yang baik dan benar sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia yang baku harus dapat disosialisasikan oleh para publik figur,
selebritis, di negeri ini. Pada era orde baru tampaknya justru yang merusak
kaidah bahasa Indonesia adalah orang nomor satu di Indonesia. Indikasi
“pengrusakkan” kaidah bahasa Indonesia era sekarang kiranya didominasi oleh
bahasa iklan di media masa. Dalam hal ini perlu diadakan aturan main dalam
memproduksi bahasa sebuah iklan, agar tidak merusak tatanan kaidah yang sudah
baku.
Penggunaan bahasa dan isitilah asing yang
diadopsikan ke dalam bahasa Indonesia seharusnya dibatasi. Kalau tidak bisa
disederhanakan oleh si pembicara sebaiknya tidak perlu diucapkan. Akan tetapi
justru gejala ini dibuat sengaja oleh orang-orang yang masih setengah-setengah
mengenyam pendidikan tinggi. Atau demi gengsi-gengsian mereka berbicara yang sok
ilmiah. Ironisnya, justru mereka sendiri tidak mengerti apa sebenarnya isi
pembicaraannya.
Sya’ir-sya’ir lagu, bahasa iklan, bahasa dialog
sinetron/film (dengan tanpa mengurangi kebebasan berekspresi) sebaiknya selalu
memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Para calon pejabat dan pemimpin negara sebaiknya
ditatar dulu bagaimana berbahasa Indonesia yang baik. Sehingga tidak terjadi
pemubadziran anggaran negara untuk mengadakan kongres bahasa Indonesia. Di satu
sisi keputusan kongres di keluarkan, di sisi lain pola berbicara para pejabat
masih tetap pada pola lama.
Sepanjang sejarah, kongres bahasa Indonesia itu
sudah sering dilaksanakan. Sehingga yang disebut dengan EYD entah akan berapa
kali lagi akan disempurnakan. Barangkali akan lebih monumental jika gramatikal
bahasa Indonesia itu secara resmi diundangkan. Dengan segala implikasinya,
layaknya sebuah undang-undang (lengkap dengan sanksi hukum, jika ada
penyalahgunaan istilah atau lainnya). Berbeda sekali dengan gramatikal bahasa
Inggris, di mana sejak abad IV sampai sekarang tetap sama. Demikian pula dengan
gramatikal bahasa Arab, sejak al-Qur’an diturunkan XV abad yang silam, hingga
sekarang masih tetap utuh.
Lalu, ada apa dengan tata bahasa Indonesia ? Mengapa selalu berubah-ubah ?.
Hal ini didak lain disebabkan karena kuatnya pengaruh suhu politik. Contohnya,
setiap kali ganti mentri/ kabinet maka setiap kali ganti istilah. SMP jadi SLTP
kembali lagi ke SMP, SMA jadi SMU kembali lagi ke SMA. Gelar sarjana untuk satu
disiplin ilmu yang sama sampai sangat beragam. Akhirnya masyarakat awam yang
dibikin bingung.
No comments:
Post a Comment