Menurut
sejarah perkembanganya, retorika mula-mula tumbuh dan berkembang di
Yunani pada abad ke V dank e VI sebelum masehi. Menurut pengertianya
yang asli, retorika adalah sebuah telaah atau studi yang simpatik
mengenai oratoria atau seni berpidato.
Kemampuan dan kemahiran bahasa pada waktu itu diabdikan untuk
menyampaikan pikiran dan gagasan melalui pidato-pidato kepada
kelompok-kelompok massa tertentu guna mencapai tujuan tertentu.
Orang yang pertama dianggap memperkenalkan oratori atau seni berpidato adalah orang Yunani
Sicilia. Tetapi tokoh pendiri sebenarnya adalah Corax dari Sirakusa
(500 SM). Inilah yang mula-mula meletakkan sistematika oratori atas lima
bagian, yaiutu:
(1) Proem atau pengantar dari pidato yang akan disampaikan
(2) Diegesis atau narration: bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan dikemukakan .
(3) Agon atau argument: bagian pidato yang mengemukakan bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan itu.
(4) Parekbasis atau digression: catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi
(5) Peroration: bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.
Sudah sejak permulaan perkembangan retorika timbul perbedaan pendapat (Icontroversiae, kontroversi) mengenai beberapa hal yang menyangkut retorika. Kontroversi tersebut mrnyangkut persoalan pemakaian unsur stilistika, maslah hubungan antara retorika dan moral, dan masalah pendidikan.
Kontroversi pertama menyangkut persoalan : apakah perlu mempergunalkan unsur-unsur stilistika dalam
pidato-pidato. Ada tiga aliran, yuaitu yangt menyetujui penggunaan
unsure stilistika, yang menolak dan yang berada diluar kedua aliran
pertama
Gorgias
dari liontini, yang mula-mula memperkenalkan retorilka pada orang
Athena( sekitar 427 SM), berpendapat bahwa perlu menggunakan upaya-upaya
stilistika dalam retorika. Sebab itu gaya yang digunakan untuk pidato
penuh dengan upaya-upaya stilistika: epitet-epitet penuh hiasan, anti
tese-antitese, terminasi (akhir kata) yang penuh ritmis dan bersajak.
Nilai antitese-antitese tersebut dapat dilihat kelak dalam pidato maupun
narasi historis dari Thucydides, dan dalam argumentasi yang berbentuk
sandiwara karangan Euripides. Pemakaian unsur stilistika yang berlebihan
ini kjemudian menimbulkan reaksi yang keras dan dengan sendirinya
melahirkan aliran yang kedua. Aliran ke dua ini menghendaki suatu bentuk gaya
yang sederhana, seperti karya yang tampak pada lysias. Sebenaranya
kedua aliran ini mencari criteria bagi keunggulan karya mereka dalam
hal: kejelasan, kesan, kepatutan, keindahan dan
kemunian bahasa. Seoran tokoh lain yang berada diluar kedua tokoh
tesebut adalah Isocrates. Sedangkan Demosthenes berusaha untuk
mempertemukan kedua belah pihak yang bertentangan itu.
Kontroversi kedua menyangkut relasi antara retorika dan moral: apakah alam pidato juga diinahkan masalah moral.
Dalam
poidato biasanya tidak dikmukakan pembuktian-pembuktian secara ilmiah.
Pidato lebih banyak berbicara mengenai kemungkinan-kemungkinan, karena
pendengar biasanya adalah orang-orang yang tidak berpendidikan, atau
orang yang tidak senang mendengarkan pidato. Sebab itu gorgias
perpendirian bahwa seorang orator harus menyampaikan bukti-bukti baik
mengenai keadilan maupun ketidakadilan dengan cara yang sama baik. Ia
berpendapat bahwa rtorika merupakan alat yang mubazir (amoral).,
pendirian ini dikecam oleh lawan-lawanya yang beranggapan bahwa
kemampuan oratoris memiliki suatu ciri moral yang essensial karena
kebenaran dan keadilan member kemungkinan yang paling baik bagi
persuasi. Pandangan terakhir ini kemudian diperkuat oleh aistoteles.
Pandangan ini memberikan sumbangan yang besar dalam bidang teori, namun
kenyataan yang dihadapi ialah bahwa kemahiran seorang orator telah member perimbangan yang berlawanan bagi persuasi, sebab itu pengauh georgias tetap bertahan juga sampai jaman renaissances.
Kontroversi
yang ketiga yang juga sudah muncul sejak permulaan perkembangan
retorika adalah masalah pendidikan. Kontroversi yang kedua mempunyai
kaitan dengan kontroversi yang ketiga ini. Ahli-ahli retorika yang
mempunyai tanggungjawab moral dalam retorika, mengkritik rekan-rekan
mereka yang mencoba memperoleh keuntungan dalam profesi mereka, terutama
dlam pengadilan. Akibatnya mereka juga tidak mencapai kata sepakat
untuk topic manasaja yang harus dimasukkan kedalam mata pelajaran
retorika dipusat-pusat pendidikan. Isocrates misalnya (pertengahan abad
ke-IV SM) berpendapat bahwa aspek-aspek politik dapat dimasukkan dalam
pelajran retorika. Pendapatnya ini dituangkan dalam karyanya antidosis.
Karangan plato (1428-348 SM) gorgias dan Phaedrus membicarakan juga
topic yang dipertentangkan itu. Gorgias membicarakan masalah etika dan
politik, sedang Phaedrus membicarakan etika dan mistik. Dalam Phaedrus
karya plato, Socrates memaklumkan bahwa retorika adalah suatu seni yang
dangkal yang dapat memperoleh nilai kalau amatanya mengambil dalam alam
bagian filsafat.
Terlepas dari semua pendapat dan kontroversi tersebut diatas, perlu dikemukakan
bahwa karya yang terkenal dari jaman yunani kuno ini adalah karya
aristoteles (384-322 SM) yang bejudul rethorika. Dalam karya ini
aristoteles mengumumkan bahwa logika formal adalah dasar yang
tepat bagi pidato yang jujur dan efektif baik dalam dawn legislatif
maupun di pengadilan. Dalam buku ini ia membedakan tiga jenis pidato
yang didasarkan pada pendngarnya, yaitu: (1) pidato yudisial (legal)
atau forensic, yaitu pidato mengenai perkara dipengadilan mengenai apa
yang telah terjadi dan tidak pernah terjadi. Pendengarnya para hakim
atau yuri dalam suatu mahkamah pengadilan; (2) pidato deliberative atau
politik (suasoria), yaitu pidato yang berisi nasehat yang disampaikan
para penasehat mengenai hal-hal yang patut atau tidak patut
dilaksanakan. Para pendengar adalah anggota badan legislatif atau
eksekutif; (3) pidato epideiktik atau
demonstrative, yaitu pidato-pidato baik untuk pementasan, ucapan-ucapan
ibadah maupun bukan ibadah biasanya berisi kecaman atau pujian mengenai
hal-hal yang terjadi sekarang.
No comments:
Post a Comment